Fenomena Jastip, Bagaimana Aspek Perpajakannya?
- Zakky Ashidiqi
- 18 Apr 2023
- 2 menit membaca

Jastip atau jasa titipan untuk barang dari luar negeri merupakan bisnis yang tengah menjamur seiring dengan masifnya penggunaan sosial media. Akhir-akhir ini maraknya fenomena jastip dianggap merugikan negara akibat kerap kali lolos dari pembayaran bea masuk serta pajak dalam rangka impor (PDRI).
Secara umum, jastip sendiri dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu personal shopper dan direct selling. Personal shopper merupakan penumpang sarana transportasi yang masuk ke wilayah Indonesia yang sebelumnya telah membeli barang dagangannya dari luar negeri. Sedangkan pelaku jastip direct selling merupakan pihak yang menerima kiriman barang dari luar wilayah Indonesia dan kemudian menjualnya kepada kosumen yang berada di dalam wilayah Indonesia.
Untuk jenis jastip dengan direct selling dikategorikan sebagai impor barang sehingga mengikuti ketentuan umum impor yang diatur dalam PMK No. 112/2018 tentang ketentuan impor barang kiriman. Sedangkan yang menjadi pertanyaan, bagaimana aspek perpajakan jastip jenis personal shopper?
Ketentuan perpajakan mengenai jastip jenis personal shopper diatur secara khusus dalam PMK 203/2017. Adapun barang impor bawaan penumpang terdiri atas barang personal use dan barang selain non-personal use. Barang titipan jastip dapat diklasifikasikan sebagai barang non-personal use.
Sesuai PMK 203/2017, barang personal use berhak memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk serta PDRI dengan nilai pabean maksimal free on board (FOB) sebesar USD $500 per kedatangan. Jika lebih dari nilai tersebut, maka terhadap kelebihannya akan dikenakan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor dengan ketentuan tarif bea masuk sebesar 10%, tarif PPN Sebesar 11% dan tarif PPh 22 sebesar 7,5% (dengan NPWP) atau 15% (jika tidak memiliki NPWP).
Sebaliknya, barang non-personal use termasuk barang titipan jastip akan dikenakan bea masuk serta PDRI sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku umum (impor).
Lebih lanjut, barang bawaan yang tergolong non-personal use menggunakan dokumen Pemberitahuan Impor Barang Khusus (PIBK). Sedangkan barang bawaan personal use menggunakan Custom Declaration (CD) baik berupa data elektronik maupun formulir.
Dengan terus berkembangnya fenomena jastip, diperlukan pembaharuan regulasi khususnya terkait besaran FOB yang mendapatkan pembebasan. Karena pendapatan masyarakat seiring tahun juga berubah. Selain itu harusnya terdapat klasifikasi aktifitas yang memang dikategorikan sebagai bisnis jastip atau sekedar temporer, seperti penumpang yang hanya sesekali ke luar negeri dan barangnya kena pajak. Sehingga tidak terkesan sporadis dan merugikan masyarakat.
ComentƔrios