top of page

ALOKASI JOINT COST UNTUK MENENTUKAN PENGHASILAN KENA PAJAK

  • Gambar penulis: Bambang Pratiknyo
    Bambang Pratiknyo
  • 1 Okt
  • 5 menit membaca

Oleh: Bambang Pratiknyo

DSH Tax Consulting


Besarnya Penghasilan Kena Pajak ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU PPh Indonesia. Selain hal-hal yang tidak boleh dikurangkan menurut Pasal 9 UU PPh. Dalam hal ini, berlaku prinsip seperti yang dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh yaitu bahwa untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatanĀ  untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan obyek pajak. Dengan demikian atas biaya dari kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan obyek pajak tidak dapat dibebankan sebagai biaya. Ā Ā Ā Ā Ā 


Lebih lanjut, Pasal 13 PP No.94 Tahun 2010 juga mengatur bahwa biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final dan/atau dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UU PPh dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh tidak boleh dikurangkan.


Aturan-aturan tersebut logis diterapkan, mengingat biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang bukan obyek pajak tidak relevan untuk diperhitungkan, sedangkan bagi penghasilan yang dikenakan pajak final dan penghasilan yang pemajakannya menggunakan Norma sudah memperhitungkan unsur biaya sehingga menjadi berlebihan apabila tidak diatur seperti ini.


Dalam praktik terdapat kemungkinan suatu Wajib Pajak mempunyai lebih dari satu jenis penghasilan, yaitu penghasilan yang merupakan obyek pajak, dan penghasilan yang bukan merupakan obyek pajak, penghasilan yang dikenakan pajak final, serta yang dikenakan pajak menggunakan Norma. Bagi Wajib Pajak yang bersangkutan dituntut untuk dapat mengalokasikan biaya mana saja yang terkait dengan jenis-jenis penghasilan tersebut. Ketika Wajib Pajak dapat mengalokasikannya, maka Wajib Pajak tersebut tinggal menerapkan bahwa atas biaya yang berkaitan dengan penghasilan yang merupakan obyek pajak dapat dibebankan sebagai biaya. Sebaliknya, atas biaya yang berkaitan dengan penghasilan yang bukan obyek pajak, dikenakan pajak final atau dikenakan pajak berdasarkan Norma tidak dapat dibebankan. Namun demikian, untuk dapat melakukan hal tersebut, Pasal 27 PP No.94 Tahun 2010 mengharuskan Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan secara terpisah.


Merujuk kepada pengertian pembukuan dalam UU KUP, Ā melakukan pembukuan secara terpisah berarti Wajib Pajak yang bersangkutan harus membuat suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang ditutup dengan dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk suatu periode. Hal ini berarti, Wajib Pajak yang bersangkutan harus mempunyai lebih dari satu laporan keuangan yang mana khusus untuk penghasilan yang bukan obyek pajak/kena pajak final/kena pajak berdasarkan norma mempunyai laporan keuangan tersendiri, di samping laporan keuangan atas penghasilan yang merupakan obyek pajak.Ā Ā 


Namun demikian, Penjelasan Pasal 27 PP No.94 tahun 2010 hanya menegaskan bahwa Pembukuan secara terpisah merupakan proses pencatatan yang dilakukan secara teratur dengan melakukan pemisahan pencatatan untuk setiap transaksi, penghasilan dan biaya-biaya antara kegiatan usaha yang dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan kegiatan usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final maupun atas penerimaan penghasilan bruto yang merupakan objek pajak dan yang bukan merupakan objek pajak, serta penghasilan dan biaya-biaya dari usaha yang tidak mendapatkan fasilitas perpajakan dan yang mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan.


Contoh:

PT A bergerak di bidang industri pengalengan ikan yang berkedudukan di Jakarta mempunyai aset berupa gudang dan mesin pengolahan di Papua dalam rangka pengembangan kegiatan dan produksi perusahaan.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007Ā tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008, atas industri pengalengan ikan dan biota perairan lainnya di daerah Papua dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.


Salah satu bentuk fasilitas Pajak Penghasilan yang dimaksud adalah penyusutan dan amortisasi yang dipercepat. Dalam hal ini, pencatatan secara terpisah harus dilakukan untuk biaya penyusutan atas aset dalam rangka usaha yang mendapatkan fasilitas perpajakan (di Papua) dan yang tidak mendapatkan fasilitas perpajakan (di Jakarta).


Persoalan muncul ketika Wajib Pajak tidak dapat mengalokasikan biaya bersama (joint cost) melalui pembukuan terpisah. Biaya bersamaĀ  adalah pengeluaran atau biaya yang berhubungan langsung dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara suatu penghasilan dan sekaligus berhubungan langsung dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya. Biaya-biaya bersama yang menjadi dasar alokasi pembebanan dalam rangka menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah biaya bersama setelah dilakukan penyesuaian/koreksi fiskal. Untuk mengatasi persoalan ini Pasal 27 ayat (2) PP No.94 Tahun 2010 mengatur bahwa alokasi dilakukan secara proporsional berdasarkan jumlah penghasilan masing-masing. Contoh:

Ā PT A bergerak dalam bidang usaha yang penghasilannya dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Dalam suatu tahun pajak, PT A memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:

Ā 

a. Penghasilan dari usaha yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final

Rp 300.000.000,00

b. Penghasilan bruto lainnya yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat tidak final

Rp 200.000.000,00

Jumlah penghasilan bruto

Rp 500.000.000,00


Apabila biaya-biaya bersama yang tidak dapat dipisahkan setelah dilakukan penyesuaian fiskal adalah sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), maka biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar: 2/5 x Rp250.000.000,00 = Rp 100.000.000,00


Jika dicermati, sesungguhnya aturan alokasi biaya bersamaĀ  secara proporsional menarik untuk diperhatikan. Penerapan aturan tersebut hendaknya disesuaikan dengan fakta jenis penghasilannya. Penghasilan yang bukan obyek pajak atau penghasilan yang dikenakan pajak final faktanya tidak selalu dihasilkan dari adanya kegiatan atau aktivitas. Penghasilan bunga bank atau bunga deposito yang dikenakan pajak final tentu tidak berasal dari adanya kegiatan pemilik tabungan atau deposito. Dengan kata lain, tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan bunga deposito atau bunga tabungan. Oleh karena itu jika Wajib Pajak mendapatkan penghasilan bunga tabungan/deposito selain penghasilan yang merupakan obyek pajak, maka Wajib Pajak tersebut tidak perlu melakukan pembukuan terpisah atau menghitung pajak terutang dengan mengoreksi seluruh biaya berdasarkan proporsionalitas penghasilan masing-masing. Demikian pula, tidak diperlakukannya proporsionalitas biaya seharusnya juga diterapkan apabila Wajib Pajak selain mendapatkan penghasilan yang merupakan obyek pajak, juga mendapatkan penghasilan berupa dividen yang bukan merupakan obyek pajak. Pada umumnya penghasilan dividen tidak diperoleh dari adanya kegiatan usaha, sebab dividen merupakan passive income (tidak memerlukan kegiatan).


Namun demikian, dalam hal bunga deposito/tabungan atau dividen diperoleh dari simpanan atau investasi yang berasal dari pinjaman, maka atas bunga pinjamannya seharusnya tidak boleh dibiayakan. Berdasarkan pemahaman inilah maka dahulu pernah ada aturan berdasarkan SE-46/PJ.4/1995 tentang perlakuan biaya bunga yang dibayar atau terutang dalam hal wajib pajak menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga deposito atau tabungan lainnya. Aturan tersebut membatasi biaya bunga berdasarkan proposionalitas pinjaman dan tabungan/depoito. Ā 


Demikianlah, uraian mengenai alokasi biaya bersama dalam hal Wajib Pajak mendapatkan penghasilan yang merupakan obyek pajak dan penghasilan yang dikenakan pajak final, penghasilan bukan obyek pajak, penghasilan dikenakan pajak berdasarkan Norma, atau penghasilan yang mendapat fasilitas perpajakan. Intinya, kemampuan untuk menentukan ada atau tidaknya biaya terkait penghasilan penghasilan yang dikenakan pajak final, penghasilan bukan obyek pajak, penghasilan dikenakan pajak berdasarkan Norma, atau penghasilan yang mendapat fasilitas perpajakan merupakan kunci alokasi biaya. Tanpa kemampuan tersebut, maka alokasi biaya akan salah arah yang tentu berakibat pada salah penghitungan pajak.


Contact Us

DSH Tax Consulting

Kantor Taman E3.3 Unit B.6-B.7 - Menara Anugerah

Jl. Dr. Ide Anak Agung Gde Agung Lot 8.6-8.7

Kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan

DKI Jakarta - 12950, Indonesia

Ā 

T:Ā +62 21-5764486 | F:Ā +62 21-5764380 / 5764390

Ā 
Ā 
Ā 

Komentar


bottom of page